SIDHAT SEGARA ANAKAN 10 - 海的孩子鳗鱼
Permasalahan Kawasan Segara Anakan Yuliarko Sukardi on 12 24, 2010 Abstrak Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara pantai selatan Jawa Tengah, di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya. Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri. Tulisan ini mencoba untuk mengiventarisir permasalahan yang ada di kawasan Segara Anakan sebagai bahan masukan dalam merencanakan strategi penyelamatan Segara Anakan. I. PENDAHULUAN Kawasan Segara Anakan terletak di antara 7°35′ – 7°46′ S dan 108°45′ – 109°01′ E, di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan provinsi Jawa Tengah sebelah selatan Pulau Jawa. Luas keseluruhan kawasan Segara Anakan adalah sekitar 24.000 hektar, meliputi perairan, hutan mangrove, dan daratan-daratan lumpur yang terbentuk karena sedimentasi. Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (gambar 1). Definisi laguna dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan dengan teluk, apalagi selat. Di masa lalu, Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa. Keberadaan mangrove ini sangat berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota karena kemampuannya dalam menyediakan nutrisi bagi biota di perairan sekitarnya. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari 45 jenis ikan laut, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus), udang, kepiting, lobster, kerang totok, kerapu merah, cumi-cumi, Gambar 1. Kawasan Segara Anakan gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat, ikan hiu, dan biota laut lainnya, maupun 17 jenis ikan yang tidak menetap/bermigrasi seperti ikan sidat laut (Anguilla sp). Setelah mereka dewasa, biota laut tersebut kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, untuk selanjutnya ada yang ditangkap para nelayan dan sebagian merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan besar di Samudra Hindia. Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini juga ramai dikunjungi oleh beragam satwa seperti monyet, linsang, dan setidaknya 85 jenis burung, termasuk 160-180 bangau bluwok (mycteria cinerea) dan 25 bangau tongtong (leptoptilos javanicus) yang mana keduanya tercatat sebagai burung terancam punah. Segara Anakan juga memiliki biota yang unik, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. Bahkan menurut hasil penelitian disebutkan bahwa dari dua belas spesies ikan sidat di dunia, tujuh diantaranya berkembang di kawasan Segara Anakan. Dengan seluruh kekayaan itu, laguna Segara Anakan telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun. Bahkan berdasarkan perhitungan para peneliti asing, nilai kekayaan perikanan di kawasan Segara Anakan mencapai 8,3 juta dolar AS per tahun. Sebuah riset yang juga sempat dilakukan di Segara Anakan mengkuantifisir setiap hektar mangrove dengan biota laut yang menumpangnya memiliki nilai ekonomis hingga 1.400 dolar AS. Lembaga independen Amerika Serikat, Engineering Consultant Incorporation (ECI), yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94% udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya. Selain itu, keanekaragaman hayati yang dimiliki kawasan Segara Anakan berpotensi untuk digali sebagai salah satu daerah tujuan wisata serta sebagai laboratorium alam tempat belajar bagi anak-anak sekolah dan tempat melakukan penelitian bagi para mahasiswa ataupun peneliti dalam mengamati fenomena alam dan lingkungan sekitarnya yang memiliki ciri khas dan tidak dijumpai di wilayah lain. II. PERMASALAHAN LINGKUNGAN Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Saat ini kawasan Segara Anakan dihadapkan pada dua masalah pokok, yakni sedimentasi (pendangkalan) dari sedimen (berupa lumpur dan limbah) yang terbawa sungai-sungai yang bermuara kedalam laguna dan berkurangnya luasan hutan mangrove. Sedimentasi Laguna Segara Anakan secara kontinyu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Laguna Segara Anakan sebagai muara dari beberapa sungai besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa kedalam laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut. Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak 5.000.000 m3/tahun, dimana sebesar 1.000.000 m3/tahun terendapkan di laguna. Dari 1.000.000 m3 tersebut, 750.000 m3 disumbangkan oleh material yang dibawa aliran Sungai Citanduy, sedangkan sisanya 250.000 m3 berasal dari material yang dibawa sungai lainnya. Sehingga, total sedimentasi di laguna terhitung sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi 5.000.000 m3. Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas perairan, serta adanya tanah timbul. Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda, namun data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara Anakan seperti terlihat pada gambar 2. Sedangkan gambar 3 memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna Segara Anakan. Gambar 3. Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan dari sebelumnya berjarak 300 m pada tahun 2002. Kedalamannya pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri. Di samping masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar, yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri. Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997 telah menarik minat para investor untuk membuka usaha pertambakan udang secara besar-besaran. Para investor menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan. Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga dijadikan bahan baku industri arang. Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian. Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon mangrove yang ditebang secara liar untuk dijadikan sawah dan permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan kayu mangrove sebagai material bahan bangunan. Gambar 4. Laju Penurunan Luasan Hutan Mangrove Segara Anakan Sumber: Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan Penebangan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan kawasan Segara Anakan kian hari terus menyusut seperti ditunjukkan dalam gambar 4 yang memperlihatkan laju penurunan luasan hutan mangrove di kawasan Segara Anakan. III. DAMPAK PERMASALAHAN Kerusakan lingkungan di kawasan Segara Anakan mengancam kekayaan biota di kawasan ini. Penumpukan sedimen dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan selama bertahun-tahun telah mendangkalkan dan menyempitkan perairan yang merupakan habitat biota laut dan air payau. Sebagian besar dari biota tersebut juga merupakan sumber makanan bagi burung-burung air di kawasan Segara Anakan. Tingkat erosi yang tinggi juga mengakibatkan wilayah perairan keruh dan kotor, sehingga kehidupan biota di laguna Segara Anakan pun terancam. Gerbang Plawangan yang merupakan pintu pertemuan air sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan laut lepas Samudera hindia kini kian sempit dan dangkal. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan sedimen dan air ke laut, serta menjadi pintu gerbang masuknya biota laut untuk memijahkan diri di laguna. Kondisi tersebut menimbulkan lumpur sungai tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan tumpukan sedimentasi dan berkurangnya biota laut yang memijahkan diri di Segara Anakan karena kesulitan masuk kedalam laguna. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan penyusutan luasan hutan mangrove yang menyebabkan peran mangrove sebagai penyedia nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota laut, air payau, dan burung air yang menumpangnya berkurang. Berkurangnya luasan hutan mangrove dan sedimentasi menjadi faktor penyebab utama menurunnya jumlah tangkapan ikan di daerah pesisir dan hilangnya mata penghidupan nelayan setempat. Permasalahan ini dapat mengancam sektor perikanan laut di Cilacap. Dampak besar lainnya akibat sedimentasi dan berkurangnya luasan hutan mangrove adalah semakin mudah terendamnya areal permukiman dan pertanian saat air pasang. Akibatnya, instalasi air bersih rusak, sumber air bersih tercemar, lahan pertanian rusak, dan banjir. Ratusan hektar lahan persawahan tidak bisa ditanami akibat terinterusi air laut. Sementara itu, hilangnya mangrove juga mengakibatkan suhu udara semakin panas. Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan alur pelayaran kapal penyebrangan. Beberapa kendala akibat sedimentasi di kawasan ini diantaranya: jalur kapal penyebrangan antara Dermaga Lomanis, Cilacap – Dermaga Majingklak, Ciamis dan kapal besar berkapasitas hingga 300 orang antara Cilacap – Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap terganggu; alat transportasi kapal roro dan compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap – Kampung Laut – Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut, yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus. Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik. ]IV. UPAYA PENYELAMATAN Upaya yang telah dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan kawasan Segara Anakan meliputi rehabilitasi hutan mangrove, pembangunan dam pengendali dan penahan, pengerukan sedimen, pembuatan daerah tangkapan atau sumur resapan, hingga penyodetan sungai. Untuk menahan laju sedimentasi, BPKSA menjalankan program Konservasi Tanah dan Pengendalian Erosi (KTPE). Program KTPE terdiri atas kegiatan fisik dan vegetasi. Kegiatan fisik meliputi pembangunan dam pengendali, dam penahan, dan terucuk bambu. Kegiatan vegetasi berupa agro forestry, pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (Up-Upsa), dan pembuatan kebun bibit desa. Yang menjadi sasaran KTPE terutama lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeneng, Cikawung, dan Ciseel. Upaya penyelamatan Segara Anakan terus berlanjut dengan penyodetan Sungai Cimeneng (gambar 6) dan pengerukan yang dilakukan di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara, melalui Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (Segara Anakan Conservation and Development Project) dengan dana yang sebagian besar berasal dari pinjaman ADB dan sisanya dari APBN, antara tahun 2000 dan 2005 (gambar 5), membuat luasan laguna naik menjadi 834 Ha pada tahun 2005 dari 600 Ha pada tahun 2003. Namun kini hasil pengerukan tersebut hampir tidak berbekas karena sedimentasi yang terus menerus mengendap di kawasan ini, sehingga penyusutan luasan laguna pun terus berlangsung. Proyek yang dimulai efektif dari tahun 1997 – 2005 ini, dinilai ADB tidak berhasil. Gambar 5. Pengerukan Laguna Segara Anakan Sumber: Kebijakan Untuk Mangrove. Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN & Mangrove Action Project Salah satu paket programnya yang belum berhasil dilakukan adalah memindahkan muara Sungai Citanduy dari laguna Segara Anakan ke teluk Nusawere, Kabupaten Ciamis dengan membuat sodetan aliran sungai sepanjang 3 km. Rencana yang lebih dikenal dengan sodetan Citanduy (gambar 6) ini berlandaskan asumsi bahwa sedimen terbesar di kawasan laguna Segara Anakan berasal dari Sungai Citanduy (75%). Sehingga air sungai beserta sedimen yang terbawa itu tidak lagi memasuki laguna Segara Anakan, melainkan langsung ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil studi, sebaran lumpur dari Sungai Citanduy nantinya akan terbuang melebar paling jauh 5 km dari teluk Nusawere. Gambar 6. Sodetan Sungai Cimeneng dan Sungai Citanduy Sumber: ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation And Development Project. Namun dalam perjalanannya terdapat kendala berupa konflik sosial di lapangan. Kelompok yang pro berpendapat bahwa sodetan adalah cara terbaik untuk menanggulangi sedimentasi yang membuat kritis kondisi laguna Segara Anakan. Sementara itu, kelompok yang kontra berpendapat bahwa sodetan hanya akan memindahkan persoalan dari Segara Anakan ke teluk Nusawere tanpa benar-benar menyelesaikan persoalan sedimentasi itu sendiri. Dikatakan lebih lanjut bahwa proyek ini justru akan meningkatkan potensi pencemaran sampah ke pantai Pangandaran (berjarak sekitar 25 km dari Teluk Nusawere) yang merupakan salah satu kawasan andalan Jawa Barat di bidang pariwisata dan mengurangi hasil tangkapan ikan bagi nelayan Ciamis karena teluk Nusawere merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial. Pada tahun 2007, melalui Program Gerakan Nasional Pengelolaan Air (GNPA), dibuat model sumur resapan sebagai daerah tangkapan dengan pola ekohidrolik sebanyak 20 buah di sekitar alur sungai untuk mengurangi erosi yang masuk ke laguna Segara Anakan. Hasil penelitian sementara program ini cukup efektif menghambat sedimentasi dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga berkembang menjadi setidaknya 600 sumur yang telah dibuat. Upaya pelestarian hutan mangrove terus dilakukan dengan penanaman bibit mangrove sebanyak 10.000 batang pada lahan seluas 1 Ha di Grumbul Mangun Jaya dan Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut. Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melalui program corporate social responsibility (CSR) pada akhir tahun 2009 mengambil tema “Save The Mangrove Now!” ini melibatkan Kantor Pengelolaan Pemberdayaan Segara Anakan (KPPSA) Cilacap dan pecinta alam. V. PENUTUP Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya. Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri. Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik. Pembahasan mengenai permasalahan di kawasan Segara Anakan sangatlah panjang dan kompleks. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan begitu sensitif. Mengingat kawasan Segara Anakan berada dalam kawasan lintas wilayah administrasi dan permasalahan yang dihadapi bersifat multisektoral, maka masalah kawasan Segara Anakan merupakan masalah nasional. Oleh karena itu, membahas permasalahan ini harus secara utuh dan menyeluruh, sehingga solusi yang diberikan tidak bersifat parsial dan sesaat. Kegiatan pengerukan dan sodetan memang dapat mengurangi dampak sedimentasi. Tetapi usaha itu bukanlah satu-satunya solusi, melainkan harus ditindaklanjuti dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Apalagi jika tidak cermat dan teliti dalam mengkaji masalah, upaya pengerukan dan sodetan dapat mengancam dan menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan baru pada ekosistem yang ada. Konsep konservasi yang tampaknya lebih diterima masyarakat setempat adalah dengan penyelamatan hutan mangrove dan rehabilitasi lahan di DAS Citanduy dan sungai-sungai lainnya yang bermuara di kawasan laguna Segara Anakan. Namun, upaya-upaya penyelamatan kawasan Segara Anakan itu serasa lambat dibandingkan laju kerusakan mangrove dan sedimentasi yang kian tak terkendali. Lemahnya perencanaan dan implementasi dari strategi dan arah kebijakan yang tertuang dalam kegiatan dan program pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sedikit banyak berkontribusi menghambat upaya-upaya menyelamatkan kawasan Segara Anakan. -o0o- Yuliarko Sukardi (yuliarko.sukardi@bappenas.go.id) adalah Staf Perencana Direktorat Kelautan dan Perikanan, Bappenas.Daftar Pustaka
|