SIDHAT SEGARA ANAKAN 5 - 海的孩子鳗鱼
Wisata Segara AnakanPerlu SentuhanSunarto CILACAP – Kami hanya dapat geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Keprihatinan ini adalah buah yang bisa dipetik dari kunjungan singkat ke Segara Anakan. Laguna unik yang kaya biota hayati ini secara administratif terletak di perbatasan antara Kabupaten Ciamis Jawa Barat dengan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Dengan dominasi hutan mangrove dan kekayaan fauna yang dimiliki, Segara Anakan berpotensi sebagai lokasi wisata andalan di masa depan. Sayang, belum ada sentuhan berarti di dalamnya. ”Habis, mau bagaimana ya, untuk mengembangkannya kami harus berkoordinasi dengan pihak terkait, terutama dengan Dinas Pariwisata Pemda Cilacap. Sampai sekarang sepertinya belum dapat tanggapan serius,” ungkap Asifudin, camat Kampung Laut, dalam sebuah obrolan santai beberapa waktu lalu. Jawaban itu menyiratkan keputus-asaan. Maklum, potensi ada di depan mata tetapi tak ada pasokan ”tenaga”. Asifudin pun setuju - bila dikembangkan potensi wisata Segara Anakan dan sekitarnya mampu memberikan kontribusi yang tak sedikit bagi kas daerah. ”Paling tidak, dapat menggerakkan perekonomian masyarakat lokal,” harapnya. Saat ini, dalam setahun operasional kecamatan paling sedikit menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta, sedang anggaran yang tersedia nilai kira-kira hanya Rp 34 juta saja. Tentu, bila ada pemasukan dari sektor pariwisata, beban tombokan itu terasa ringan. Keluhan Asifudin terasa makin pas di sela-sela obrolan santai kami beberapa kali sempat melihat kapal motor (penduduk menyebutnya compreng) yang membawa rombongan wisatawan asing melintas di depan kantor kecamatan. Obrolan pun terhenti beberapa saat, kami sama-sama menatap kapal motor yang lewat itu. Saat melintas, para turis itu terlihat begitu menikmati pemandangan alam sekitar. Beberapa di antaranya, kelihatan sibuk dengan alat-alat perekam gambar, entah itu kamera digital atau kamera video. Melakukan penyusuran sungai dengan menikmati lansekap kampung nelayan serta meliuk-liuk di antara kelebatan mangrove boleh jadi sebuah pengalaman langka bagi mereka. ”Wah, sayang ya turis-turis itu cuma numpang lewat begitu saja. Padahal, mereka bisa ditawarkan untuk ikut paket wisata di sini, atau mampir sekadar membeli souvenir ya,” celetuk salah seorang anggota Sahabat Burung Indonesia (SBI) yang ikut mengobrol. Wisata Burung Kawasan mangrove yang ada di wilayah laguna Segara Anakan bisa jadi modal penting dalam pengembangan jalur wisata. Menjual paket wisata dengan berkeliling kawasan ini tentu bakalan menarik minat wisatawan. Apalagi, berdasar catatan, kawasan mangrove di tanah Jawa sudah semakin langka dan di sini – kabarnya paling luas di Jawa – kita dapat melihat kehidupan keanekaragaman hayati yang unik. Yang paling gampang, perilaku burung-burung air. Dari hasil pengamatan Arif Prakoso dari Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor pada kawasan mangrove – hutan maupun paparan lumpur dan sekitarnya – ditemukan 17 burung yang dilindungi, di antaranya: cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, kuntul kecil, bluwok, bangau tong-tong, camar, raja udang, burung madu, dan elang ikan. Selain burung dilindungi, juga ditemukan jenis burung migran dari belahan bumi utara: trinil, gegajahan dan cerek. Pada bagian areal mangrove hutan campuran – dari Sungai Ujung Alang ke timur hingga Sungai Bengawan ke selatan sampai daerah Jojog dan ke barat mulai Sungai Kembangkuning sampai dekat Motean ditemukan 32 jenis burung – 13 jenis di antaranya termasuk burung yang dilindungi. Di mancanegara, mengamati burung telah masuk dalam kemasan wisata yang ditawarkan kepada tiap wisatawan alam. Negara kita memang belum melakukan hal seperti itu. Namun, beberapa pihak sudah mulai mencobanya. Ambil contoh, penawaran paket wisata pengamatan burung di Segara Anakan – Nusa Kambangan yang digelar SBI dan BirdLife Indonesia pada awal Juli lalu. Hasilnya, positif. Seluruh peserta merasa ketagihan dan ingin balik lagi ke tempat ini. Yang cukup ironis, kabarnya kegiatan ini masih harus disubsidi lantaran jumlah pesertanya gagal memenuhi target. ”Dengan begini, kami berharap adanya sistem getok tular untuk mempromosikan wisata Segara Anakan,” sebut Krisnarto – salah seorang anggota gaek SBI. Boleh jadi, harus ada sinergi strategi antara pemerintah Kabupaten Cilacap bersama para pemangku kepentingan yang peduli dengan wisata Segara Anakan. Rencana WisataSebetulnya Pemerintah Kabupaten Cilacap sudah menyusun rencana pengembangan tujuan wisata untuk wilayah Segara Anakan. Bila merujuk buku ”Rencana Pola Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cilacap”, laguna yang kini ditimpa masalah pendangkalan dan penyempitan perairan ini termasuk dalam wilayah khusus. http://clacape.blogspot.com/2006/02/wisata-segara-anakan.html Pemerintah Kabupaten Cilacap membagi lima wilayah untuk mengembangkan tujuan wisata pada daerah Segara Anakan. Wilayah I meliputi Kota Administratif Cilacap yang merupakan pusat berbagai kegiatan, di samping sebagai ibu kota kabupaten, kota industri dan pelabuhan, serta kota pusat pelayanan wisata. Wilayah II, ini meliputi wilayah pembantu bupati Kroya. Potensi kepariwisataan yang ada cukup mendukung, antara lain gunung Selok/Srandil, dan pantai Jetis, di samping itu terdapat berbagai kegiatan seperti batik dan kerajinan bambu. Wilayah ini juga dilalui jalur wisata Cilacap, Jatijajar-Gombong, di mana di wilayah tersebut terdapat objek wisata yang potensial. Untuk Wilayah III, meliputi wilayah pembantu bupati Majenang. Wilayah ini merupakan jalur pengembangan arus wisatawan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah yang peranannya sangat penting dalam rangka meningkatkan arus kunjungan wisatawan ke Cilacap dan daerah lain sekitarnya. Daya dukung wilayah tersebut berupa fasilitas kepariwisataan yang cukup memadai terdapat pada objek wisata Rawa Badak dan fasilitas akomodasi di kota Majenang. Sedangkan, wilayah IV, meliputi wilayah pembantu bupati Sidareja. Potensi kepariwisataan di wilayah ini memang masih kurang bila dibandingkan dengan wilayah pengembangan lainnya, namum peranannya sangat positif karena merupakan jalur penghubung dengan Jawa Barat, di mana jenis transportasi yang dapat ditempuh adalah transportasi darat dan air. Terakhir, wilayah Pengembangan Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan. Dalam buku ini disebutkan, untuk mendukung wisata laguna ini diperlukan kerja sama yang baik dengan pemerintah daerah Jawa Barat dan asosiasi kepariwisataan, karena wisatawan yang datang dari Jawa Barat melalui Segara Anakan maupun sebaliknya setiap tahun semakin meningkat. Tak ketinggalan, usaha pelestarian habitat mangrove yang terdiri dari berbagai jenis. |
Imbas Sedimentasi Segara AnakanMembicarakan sedimentasi Sungai Citanduy dan sungai lain berarti pergulatan menyelamatkan perairan dan Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Laguna itu memang mengalami pendangkalan dan kehilangan ekosistem uniknya yang merupakan habitat dan tempat pemijahan ikan, udang, dan biota laut lainnya di selatan Pulau Jawa. Pergulatan panjang itu dimulai De Haan, pejabat Pemerintah Kolonial Belanda (1931) yang menaruh perhatian terhadap hutan mangrove. Ia khawatir, tingginya tingkat sedimentasi yang masuk dan mengendap di Perairan Segara Anakan akan menyebabkan pendangkalan di Laguna Segara Anakan. Kekhawatiran De Haan menjadi kenyataan. Kini perairan yang terletak di selatan Cilacap dan berbatasan dengan Pulau Nusakambangan di sebelah timur dan wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, itu nyaris tinggal hikayat. Luas kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun kian menyusut akibat pendangkalan atau sedimentasi lumpur yang dibawa Sungai Palindukan, Cikonde, Cianduy, serta sungai lainnya yang bermuara di laguna tersebut. Menurut data yang dimiliki Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PUSAKA), pada tahun 1903 luas kawasan segara anakan tercatat 6.450 hektare (ha), tahun 1992 menjadi 1.800 ha, dan tahun 2001 menyusut menjadi 1.200 ha, dan Maret 2006 hanya tersisa tidak lebih dari 834 ha. Endapan lumpur yang dibawa beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan tiap tahun kurang lebih 5 juta meter kubik. Sehingga meskipun telah dilakukan pengerukan secara periodik, kontribusi lumpur dari sejumlah sungai itu mengakibatkan luas laguna kian menyempit. Ketika penulis bersama dengan beberapa tokoh LSM yang ada di Cilacap melihat secara langsung kondisi segara anakan terutama yang sangat memprihatinkan di alur Plawangan Barat Nusakambangan yang kini menyempit hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan. Kawasan UnikLaguna Segara Anakan menyimpan sejumlah keunikan. Berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, tempat ini memiliki kawasan mangrove yang masih tersisa di Jawa. Malahan, sejumlah catatan menunjukkan kawasan mangrove di Segara Anakan adalah kawasan terluas di wilayah paling padat penduduk di Indonesia. Tentu saja, kawasan mangrove itu mendukung kehidupan minimal 85 jenis burung, termasuk bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) � keduanya tercatat sebagai burung terancam punah. Kehidupan burung air dapat menjadi indikator kehidupan hayati Segara Anakan. Secara umum burung air di kawasan ini tersebar berdasar kondisi lahan basah yang berada di wilayah tersebut serta kecendrungan pola penyebaran masing-masing jenis burung. Kawasan mangrove di tanah Jawa sudah semakin langka dan di kawasan ini kabarnya paling luas di Dunia setelah Negara Brazil. Di kawasan mangrove kita dapat melihat kehidupan keanekaragaman hayati yang unik. Yang paling gampang, perilaku burung-burung air. Pada kawasan hutan mangrove maupun paparan lumpur dan sekitarnya ditemukan burung yang dilindungi, di antaranya: cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, kuntul kecil, bluwok, bangau tong-tong, camar, raja udang, burung madu, dan elang ikan. Selain burung dilindungi, juga ditemukan jenis burung migran dari belahan bumi utara: trinil, gegajahan dan cerek. Pada bagian areal mangrove hutan campuran dari Sungai Ujung Alang ke timur hingga Sungai Bengawan ke selatan sampai daerah Jojog dan ke barat mulai Sungai Kembangkuning sampai dekat Motean ditemukan 32 jenis burung dan 13 jenis di antaranya termasuk burung yang dilindungi. Sayangnya, kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan. Sebagian besar tekanan itu disebabkan oleh aktivitas manusia. Sebut saja, konversi hutan mangrove menjadi tambak, pencurian kayu mangrove untuk kayu bakar hingga ancaman perburuan burung air menjadi penyebab tersingkirnya beberapa spesies burung air yang ada di sini. Penebangan kawasan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan Segara Anakan terus menyusut. Dari 21.000 ha saat ini diperkirakan tinggal 6800 ha saja. Tentu, penyusutan hutan akan berdampak pada kehidupan dan populasi ikan, udang dan biota laut lainnya. Kabarnya, kawasan sisa-sisa hutan mangrove tak lagi menjadi persinggahan burung-burung bangau Australia yang bermigrasi. Pasalnya, sudah terlalu susah untuk mematuk ikan atau udang. EkonomiEkosistem Segara Anakan yang terdiri dari kawasan hutan mangrove, muara berbagai sungai, dan bentuknya sebagai laguna, sangat kaya nutrien. Itu sebabnya Laguna Segara Anakan kaya akan sumber daya ikan. Lebih dari 45 jenis ikan ada di sana, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus) dan yang bermigrasi seperti sidat laut (Anguilla sp). Sumber daya biota laut lain di perairan ini adalah ikan�ikan kecil yang merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan di Samudra Hindia. Ada juga larva dan post larva berbagai jenis ikan dan udang di beberapa alur. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara perairan lepas pantai dengan Segara Anakan. Hasil penelitian Richard Dudley dari Australia tahun 2000 memperlihatkan, potensi ikan dan biota laut di kawasan Segara Anakan terus menurun dibanding tangkapan 10 tahun silam. Kendati demikian, Segara Anakan masih dapat menopang kehidupan warga setempat sebagai sumber mata pencaharian. Data menunjukan, hingga kini Kecamatan Kampung Laut dihuni oleh 14.407 jiwa pada areal seluas 139,59 ha. Tercatat tidak kurang dari empat desa berada di wilayah yang bila dilihat melalui peta berhimpitan dengan pulau Nusa Kambangan. Yakni Desa Kleces dihuni oleh 1.211 jiwa, desa Panikel terdapat 4.650 jiwa, desa Ujunggalang 4.658 jiwa dan desa Ujunggagak 3.888 jiwa. Beberapa yang masih potensial antara lain adalah kepiting bakau, yang menurut Dudley nilai jualnya setiap tahun dapat mencapai Rp 3 milyar, atau udang yang hasil tangkapannya senilai Rp 2,625 milyar lebih per tahun, ikan yang mencapai Rp 3,750 milyar per tahun, atau kerang totok senilai Rp 1,875 milyar per tahun. Apabila ditotal nilainya bisa Rp 11,25 milyar. Padahal, 10 tahun lampau nilai hasil tangkapan dari Laguna mencapai 25 juta dollar AS per tahun atau setara dengan Rp 225 milyar saat ini. Kemudian lembaga independen Amerika Serikat (ECI/Engineering Consultant Incorporation) yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94 persen udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan Laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya. Konsep paling baru untuk menyelamatkan perairan dan laguna serta kawasan hutan mangrove adalah memindahkan muara Sungai Citanduy. Dengan membuat sudetan sepanjang 3 kilometer, muara sungai yang semula di Perairan Segara Anakan di geser ke Teluk Nusawere di Kabupaten Ciamis. Ini berdasarkan hasil studi yang menyatakan sebaran lumpur dari Citanduy nantinya akan terbuang melebar sejauh satu sampai dua kilometer, paling jauh lima kilometer dari Nusawere. Pembuatan sudetan Citanduy tidak hanya menyelamatkan Segara Anakan tetapi juga mengurangi genangan banjir, tidak hanya di daerah hilir seperti Sidareja, Patimuan, Wanareja, Karunganten di wilayah Cilacap, tetapi juga puluhan desa di Kabupaten Ciamis. Banjir akibat luapan Citanduy memang hampir setiap tahun menggenangi belasan desa di wilayah Kecamatan Patarunan, Langensari, Lakbok, Padaherang, dan Kecamatan Kalipucang yang menimbulkan kerugian Rp 15 milyar per tahun. Di Kecamatan Lakbok misalnya, dari areal persawahan seluas 6.014 ha yang merupakan daerah irigasi teknis yang mengandalkan suplai air dari Citanduy, 18 persen atau setara dengan 1.100 ha terkena dampak langsung luapan Citanduy. Melihat kerugian yang begitu besar, sudetan Citanduy perlu segera direaliasikan. Jika tidak, kerugian lebih besar bakal dialami petani di wilayah Cilacap maupun Ciamis. Aset Nasional TerancamSedimentasi di Segara Anakan tidak hanya menjadi faktor utama penyebab banjir, namun sudah mengancam keberadaan aset nasional kilang PT. Pertamina (Pearsero) UP IV Cilacap serta sejumlah industri lainnya. Apalagi, proses sedimentasi bukan hanya dari lumpur Citanduy, tetapi juga sejumlah sungai lainnya, antara lain Sungai Cimeneng dan Sungai Cibeureum. Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah (crude oil) ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap. Setiap dua tahun sekali PT. Pertamina (Persero) harus melakukan pengerukan lumpur pada alur tanker hingga ke pelabuhan dalam Bengawan Donan sejauh 3 km. Frekuensi pengerukan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat proses sedimentasi semakin cepat. Setiap tahun, penambahan ketebalan lumpur di alur kapal tanker di area 70 Pertamina UP IV mencapai 75 cm. Artinya, setiap dua tahun endapan lumpur bertumpuk setinggi 1,5 meter. Padahal, tanpa ada pengerukan dapat dipastikan pasokan minyak mentah dari negara Timur Tengah terganggu. Tentu saja Pertamina tidak ingin menuai protes dari International Marine Organization ( IMO ) dan negara pengekspor minyak, sehingga secara berkala harus melakukan pemeliharaan alur dengan pengerukan. Menurut data dari PT. Pertamina (Persero) Cilacap, pengerukan lumpur terakhir dilaksanakan 2003 dengan volume lumpur yang diangkat mencapai 375.000 m3 dan sekali pengerukan dibutuhkan biaya Rp 4,8 miliar. Dana itu sengaja dianggarkan sebagai biaya operasional, meskipun pengguna perairan area 70 bukan hanya Pertamina tetapi industri lainnya. Pro dan KontraMeskipun upaya penyelamatan ini sudah matang, namun tidak serta merta rencana tersebut dapat dilaksanakan. Tanggapan masyarakat setempat belum semuanya senada. Ada yang setuju ada juga yang tidak. Pasalnya, menurut mereka yang belum seirama berpendapat, memang Segara Anakan bisa diselamatkan, tapi sebaliknya, Teluk Nusawere akan menjadi korban. Nusawere menurut mereka, merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial bagi nelayan Ciamis. Masalah ini pun akhirnya meresahkan mereka, kawatir hasil tangkapan ikannya akan berkurang. Bukan cuma itu, menurut beberapa kalangan anggota DPR-D Ciamis, yang masih keberatan upaya penyodetan ini dilakukan, membayangkan buangan lumpur di mulut sodetan akan terseret sampai ke pantai wisata Pangandaran. Tapi, mungkinkah lumpur itu akan terbawa arus sampai ke pantai Pangandaran yang berjarak 25 km itu? Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat ini terlalu jauh, karena lumpur-lumpur itu akan menyebar terkena gelombang lautan bebas yang besar, bahkan akan mengarah ke tengah lautan samudera Hindia itu. Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan lumpur-lumpur dari sodetan harus mengembara sampai ke pantai Pangandaran dengan jarak sejauh itu. Silang pendapat mengenai rencana ini memang masih ada, tetapi pertemuan-pertemuan antara masyarakat, pihak Proyek Citanduy yang akan melaksanakan pekerjaan ini beserta pemda dan pihak DPR-D dari ke dua kabupaten itu terus dilakukan untuk menyamakan persepsi dan mencari titik temu. Meski pihak pemda Ciamispun akhirnya memahami rencana tersebut namun masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum iklas, sehingga kegiatan konstruksi proyek penyelamatan Segara Anakan ini belum bisa dilanjutkan. Laboratorium AlamEkosistem mangrove Segara Anakan yang berpotensi memiliki fungsi sosial ekonomi tinggi ini harus diselamatkan adalah jelas semua pihak setuju. Dengan demikian, kelanjutan siklus kehidupan ikan, udang, kepiting, dan fauna lain pada umumnya, termasuk burung, aneka reptil, dsb., di laguna ini dapat dipertahankan. Sebab, semua itu sangat erat terkait dengan kepentingan atau hajat orang banyak. Penulis adalah Direktur Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PUSAKA)Laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Oleh karena itu, Segara Anakan harus diselamatkan. Hal itu penting buat menunjang keberlanjutan produk perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi sosial ekonomi nelayan. Juga, sebagai prasarana transportasi laut antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan, dan timur perairan Segara Anakan. laguna ini adalah sangat vital. Potensi lain laguna ini adalah laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin ilmu bio-geo-fisik dan sos-ek-bud-kum. Karena, laguna ini kaya akan aneka fenomena yang dapat dikaji dari sisi salah satu atau bahkan dari sisi terpadu interdisiplin tersebut. Katakanlah, sebagai contoh dari banyak fenomena alami maupun sosial, masalah tanah timbul dapat dipandang sebagai satu fenomenon sosekbudkum yang khusus. Selain juga sebagai bahan kajian yang menarik dari salah satu aspek dinamika kebumian (geodinamika) dan lingkungan yang bisa dikaitkan dengan kajian ekosistem setempat. Laboratorium alam ini sangat berharga sebagai objek kajian yang tersedia untuk sarana belajar para peneliti muda dan anak-anak sekolah mulai dari para pelajar SD sampai kakak-kakaknya para mahasiswa perguruan tinggi untuk belajar mengamati fenomena geologi lingkungan setempat yang memiliki ciri khas sebagai fenomena khusus dan tidak dijumpai atau langka di wilayah lain. Oleh karena itu, wajar kalau seluruh pihak menyayangkan apabila laguna ini kelak pada suatu saat kering menjadi hamparan luas, yakni suatu pedataran aluvium (alluvial plain) seperti di wilayah lain di sebelah utaranya. Akan keringkah laguna ini kelak, kapan? Wallahu A'lam, tiada lain selain Allah SWT. yang Mahatahu. Adakah tanda-tanda ke arah itu? Jawabannya, Ya...! Chabibul Barnabas http://www.cilacapmedia.com/index.php/rubrik/lingkungan/91-imbas-sedimentasi-segara-anakan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar